Jumat, 24 Februari 2017

Temani Aku Bepergian

Temani Aku Bepergian
       Alhamdulillah, segala puji bagi Allah Ta'ala atas segala nikmat yang telah diberikan. Shalawat dan salam kepada Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam beserta keluarga, sahabat dan para umatnya yang senantiasa istiqomah di atas Sunnah.
       Wanita ibarat mutiara dasar lautan. Indah, terjaga, tidak sembarang orang bisa memilikinya. Rasulullah memerintahkan manusia untu memuliakan dan berbuat baik kepada wanita. Di antara sabdanya, “Aku wasiatkan kepada kalian untuk berbuat baik kepada para wanita...” (HR Muslim). Dan sabda beliau, “Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap istrinya, dan aku adalah yang paling baik terhadap istriku.” (HR Tirmidzi, shahih)
        Allah menetapkan aturan-aturan terhadap wanita untuk menjaga dan memuliakannya. Diantara aturan-aturan bagi wanita adalah menutup aurat dan menetap di rumah agar ia terjaga dan terhindar dari fitnah. Allah berfirman “Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.” Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Ahzab: 59).
“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu."(QS.Al Ahzab:33).
       Bagaimana jika ada kebutuhan yang mengharuskan wanita keluar rumah? Wanita boleh keluar rumah jika ada kebutuhan darurat. Misal dalam menuntut ilmu, memenuhi kebutuhan rumah tangganya (misal berbelanja) dengan syarat ia menutup auratnya, tidak tabarruj, tidak memakai wewangian, menjaga pandangannya serta menjauhkan diri dari ikhtilat. Lalu bagaimana jika wanita ingin bepergian keluar kota/negeri karena ada keperluan misal berkunjung ke keluarganya atau pergi berhaji? Islam memuliakan wanita sehingga ia perlu dijaga dan dilindungi kehormatannya dengan berbagai cara termasuk ketika bepergian/safar (menuju perjalanan ke suatu tempat,red)
Wanita bersafar disertai mahramnya.
       Wanita yang ingin bersafar harus ditemani mahram (laki-laki dewasa yang haram dinikahi selamanya. Misal ayah, saudara laki-laki, kakek, paman dll). Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah seseorang itu bersafar selama tiga hari kecuali bersama mahramnya.” (HR. Bukhari-Muslim). Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda “Tidak boleh seorang wanita bersafar kecuali bersama mahramnya. Tidak boleh berkhalwat (berdua-duaan) dengan wanita kecuali bersama mahramnya.”Kemudian ada seseorang yang berkata, “Wahai Rasulullah, aku ingin keluar mengikuti peperangan ini dan itu. Namun istriku ingin berhaji.” Beliau bersabda, “Lebih baik engkau berhaji bersama istrimu.” (HR. Bukhari )
Apabila wanita yang ingin bepergian belum mendapatkan suami atau mahramnya, maka safarnya ditunda sampai ada mahram yang menemaninya.
Syaikh Utsaimin ditanya, apa hukum safar bagi wanita karena ada  pekerjaan yang menuntutnya untuk safar? Beliau mengatakan Haram. Jika tidak ada mahram maka janganlah bersafar.
       Mahram bagi wanita adalah laki-laki yang sudah baligh bukan anak kecil karena maksud disyari’atkannya mahram adalah penjagaan dan perlindungan kepada wanita. Berkata Ibnu Qudamah rahimahullahu: "Dan disyaratkan bagi mahram orang yang dewasa dan berakal." Imam Ahmad pernah ditanya: "Apakah anak kecil bisa menjadi mahram?" Beliau menjawab: "Tidak, sampai dia dewasa, karena dia belum bisa mandiri maka bagaimana dia keluar bersama wanita, karena tujuan dari adanya mahram adalah menjaga wanita, dan itu tidak terwujud kecuali dari orang yang sudah baligh dan berakal, maka camkanlah!”

Batasan Safar
Ada beberapa pendapat mengenai batasan safar. Antara lain sebagai berikut:
1. Jarak minimal suatu perjalanan dianggap/disebut safar adalah 4 barid = 16 farsakh = 48 mil = 85 km. Ini adalah pendapat Ibnu ‘Umar, Ibnu ‘Abbas, Al-Hasan Al-Bashri, Az-Zuhri, Malik, Ahmad, dan Asy-Syafi’i. Dalilnya adalah riwayat dari Ibnu ‘Umar dan Ibnu ‘Abbas. “Adalah beliau berdua (Ibnu ‘Umar dan Ibnu ‘Abbas) shalat dua rakaat (qashar) dan tidak berpuasa dalam perjalanan 4 barid atau lebih dari itu.” (HR Al Baihaqi, shahih, dan HR Bukhari)
2. Jarak minimal sebuah perjalanan dianggap/disebut safar adalah sejauh perjalanan 3 hari 3 malam (berjalan kaki atau naik unta). Ini adalah pendapat Ibnu Mas’ud, Suwaid bin Ghafalah, Asy-Sya’bi, An-Nakha’i, Ats-Tsauri, dan Abu Hanifah. Dalilnya adalah hadits Ibnu ‘Umar: “Tidak boleh seorang wanita safar selama tiga hari kecuali bersama mahramnya.”(HR. Bukhari)
3. Safar tidak memiliki batasan dalam jarak. Jika dalam suatu perjalanan itu dianggap safar maka itu disebut sebagai safar (sesuai 'urf/kebiasaan masyarakat setempat). Ini pendapat madzhab Dhahiri dan yang dipilih oleh syaikh Islam Ibnu Taimiyyah serta Ibnul Qayyim.
       Dalam kitab i'laamul musaafirin karya Syaikh Utsaimin, menurut sebagian besar ulama kapan dikatakan safar jika diukur dengan jarak yaitu antara 81 atau 83 km. Sebagian ulama juga berpendapat bahwa safar itu sesuai 'urf/kebiasaan adat setempat. Misalkan fulan pergi dari tempat A ke B, masyarakat ada yang menganggap bahwa perginya si Fulan itu adalah safar tetapi masyarakat lain menganggap itu bukan safar.
Pendapat yang paling kuat –wallahu a’lam– adalah pendapat yang menyatakan bahwa batasan safar kembali kepada ‘urf (kebiasaan masyarakat setempat).
Syaikh Ibnu Baz jika ditanya masalah batasan safar beliau menjawab tolak ukurnya dengan jarak. Syaikh Utsaimin (murid syaikh Ibnu Baz) bertanya mengapa tolak ukurnya dengan jarak padahal tidak ada dari sisi dalil yang kuat? Syaikh Ibnu Baz memberi jawaban bahwa manusia (apalagi orang awam) butuh kepastian terkait bagaimana tolak ukur dikatakan safar. Karena banyak yang bertanya apakah dikatakan safar jika bepergian dari suatu daerah ke daerah lain. Sehingga jika tolak ukur safar dengan jarak mereka bisa memastikan apakah perjalanan mereka nanti safar atau tidak.
Hikmah safar ditemani mahram
        Adapun hikmah dilarangnya wanita safar tanpa mahram adalah untuk menjaganya dari kejelekan dan kerusakan serta melindunginya dari orang-orang jahat dan nakal karena wanita itu kurang akalnya, pikirannya, dan juga lemah dalam membela dirinya. Adanya mahram dalam safar akan melindungi dan menjaga seorang wanita dan mengurus segala urusannya. Sebab safar merupakan sumber keletihan dan kesulitan, sedangkan seorang wanita karena kelemahannya membutuhkan orang yang menolong dan mendampinginya. Jika seorang wanita bersama mahramnya maka tidak ada orang jahat yang berani mengganggunya sehingga kehormatan dan kemuliaannya tetap terjaga.
       Termasuk sesuatu yang bijak apabila wanita dilarang bepergian tanpa mahram yang bisa melindungi dan menjaganya. Oleh karena itu disyaratkan mahram tersebut sudah baligh dan berakal, tidak cukup mahram anak kecil atau orang yang kurang akalnya karena mereka tidak bisa menjaga/melindungi wanita tersebut.
       Lalu bagaimana jika wanita terpaksa safar tanpa mahram? Hukum asalnya wanita tidaklah boleh bersafar tanpa mahram. Wajib bagi mahram menemani wanita tersebut dalam keseluruhan safar. Tidak cukup sebenarnya misalkan jika mahram hanya menemani wanita tersebut sampai bandara, lalu mahram yang lain menjemput lagi di bandara berikutnya. Namun saat mendapati keadaan darurat, seperti itu dibolehkan. Ibnu Nujaim menyebutkan suatu kaidah fikih, “Keadaan darurat membolehkan sesuatu yang terlarang." Apa syarat disebut darurat? Di antara syaratnya, tidak ada jalan lain kecuali dengan menerjang larangan demi hilangnya dharar (bahaya). Jika wanita terpaksa safar tanpa mahram karena mahramnya masih belum paham agama atau benar-benar tidak bisa menemaninya safar, maka wanita tersebut -semoga tidak mengapa- boleh safar jika perjalanan yang ditempuh dijamin keamanannya meskipun lebih baik safar beserta mahram.
       Hendaknya seorang wanita yang akan bersafar berusaha agar bisa ditemani mahram. Apabila belum ada mahram yang bisa menemani, jika safar bisa ditunda maka menunda safar sampai ada mahram itu lebih baik. Jika darurat harus safar segera dan tidak ada mahram maka berdoa meminta perlindungan kepada Allah serta diberi jalan keluar yang terbaik.
Wallahu a'lam
Khusnul Rofiana S.Si


Tidak ada komentar:

Posting Komentar